Pakar BRIN: Polusi Udara Bisa Menyebabkan Hujan Asam yang Berbahaya

Peneliti Ahli Utama di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Trismidianto, mengungkapkan bahwa polusi udara berpotensi menyebabkan hujan asam. Apa dampaknya?

Trismidianto menjelaskan bahwa air hujan yang tercemar polutan seperti logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida dapat membentuk hujan asam yang berpotensi merusak lingkungan dan infrastruktur.

Sebagai contoh, ia menyebutkan kondisi Patung Pancoran yang telah tercemar hujan asam, menyebabkan korosi pada permukaan patung tersebut.

“Hujan asam terbentuk karena berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi udara dan hujan. Faktor-faktor ini yang menyebabkan korosi pada permukaan patung,” kata Trismidianto, seperti yang dilansir dari laman resmi BRIN pada Senin (17/2).

Ia menambahkan bahwa masyarakat sering kali menganggap remeh air hujan, dengan beranggapan bahwa hujan tidak berbahaya. Padahal, jika air hujan tercemar polusi, hal itu dapat membawa polutan seperti logam berat, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida, yang kemudian dapat membentuk hujan asam.

Oleh karena itu, Trismidianto menegaskan pentingnya penelitian di bidang iklim dan atmosfer untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan dalam memprediksi peringatan dini bencana, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim, pengelolaan lingkungan berkelanjutan, serta pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Ia menjelaskan bahwa atmosfer Bumi terdiri dari beberapa lapisan utama, yakni troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer/ionosfer, dan eksosfer. Setiap lapisan memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda.

“Hujan asam terbentuk di troposfer, yaitu lapisan atmosfer yang paling bawah, yang membentang hingga sekitar 8-15 km di atas permukaan Bumi. Troposfer adalah tempat terjadinya sebagian besar fenomena cuaca, termasuk hujan, sehingga hujan asam juga terbentuk di lapisan ini,” jelasnya.

Sementara itu, ionosfer berpengaruh terhadap penerbangan dan dapat digunakan untuk memprediksi bencana.

“Saat ini, penelitian tentang total elektron ionosfer sedang berlangsung untuk memprediksi terjadinya gempa bumi dengan melihat pergerakan atau perubahan di permukaan melalui total elektron,” tambahnya.

Interaksi antara atmosfer dan lautan juga memainkan peran penting dalam pertanian serta pola cuaca global. Perubahan arus laut dapat mempengaruhi curah hujan dan kondisi iklim di Indonesia.

Salah satu contoh fenomena ini adalah El Nino, yang terjadi akibat gangguan pada sirkulasi atmosfer dan lautan di Samudra Pasifik. El Nino menyebabkan perubahan pola cuaca ekstrem, yang dapat berdampak negatif pada tanaman dan hasil panen.

Trismidianto menekankan bahwa perubahan iklim sangat terkait dengan aktivitas manusia.

“Jika kita melihat semuanya itu, kita dapat menyimpulkan bahwa aktivitas manusia berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita dapat menstabilkan perubahan iklim tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa perubahan iklim merujuk pada perubahan variabel-variabel iklim, khususnya temperatur udara dan curah hujan, yang terjadi secara bertahap dalam jangka waktu panjang, antara 50 hingga 100 tahun. Dalam perubahan iklim, bisa saja terjadi bencana seperti banjir, kekeringan, pergeseran musim, hingga perubahan pola cuaca.